Oleh Cl
Sejak awal masa kanak-kanak, saya mengetahui bahwa saya berbeda dari ayah saya. Saya adalah seorang anak yang sangat peka, dan hal ini mengintimidasi dirinya. Saya tidak dapat berelasi dengannya, dan saya mulai merasa tidak cukup sebagai seorang pria, karena saya tidak memenuhi dan tidak menyukai kriteria kepriaan yang digambarkan oleh ayah saya. Saya menolak bagian diri saya yang satu itu. Saya menjadi takut kepada mereka yang menunjukkan citra maskulin yang kuat.
Untuk menggantikan kekurangan hubungan dengan ayah semasa remaja, saya mulai berfantasi tentang dia dan anak-anak pria lain di kota tempat tinggal saya. Pada usia 13 tahun, saya dilecehkan secara seksual oleh seorang pria yang lebih tua yang memperkenalkan saya kepada cara baru untuk memenuhi kebutuhan saya akan kasih. Hal itu menyisakan suatu rasa kebingungan yang besar tentang orang yang dapat saya percayai. Para pria menjadi orang-orang yang tidak terpercaya, jadi saya mencari tempat perlindungan pada para wanita.
Masa sekolah juga merupakan pengalaman yang menyakitkan. Memiliki perasaan berbeda, dan siswa lain memperkuat perasaan berbeda itu dengan kata-kata negatif seperti “bencong,” “banci,” dan “homo”. Akibatnya jiwa yang sudah merasa tidak aman dan teguh kemudian dilanda rasa malu yang besar yang membuat saya membenci diri sendiri serta memunculkan ketertarikan saya terhadap sesama jenis. Jadi saya merasa lebih nyaman dan aman dengan para gadis karena anak-anak pria yang nyata tidaklah aman.
Saya menemukan tempat perlindungan dalam gaya hidup homoseksual selama 20 tahun, menggunakan hubungan seksual yang tidak sah dan berganti-ganti pasangan untuk meringankan rasa sakit di dalam. Saya menjadi kecanduan kepada seks, masturbasi, pornografi dan, pada waktu-waktu tertentu, obat-obatan. Saya mencari suatu plester untuk merekatkan luka yang menganga berupa perasaan tidak dimiliki. Setidaknya gaya hidup gay menawarkan saya suatu tempat di mana saya dapat bergabung, di mana saya dapat menghidupi identitas yang diberitahukan kepada saya, tetapi saya tidak pernah menemukan kebenaran tentang diri saya maupun kepuasan bagi kebutuhan saya akan peneguhan maskulin.
Menemukan identitas sejati saya berarti menatap semua pesan yang keliru, kebohongan-kebohongan dan pelecehan yang menutupi identitas yang Allah berikan kepada saya. Suatu hari Ia meminta saya untuk menyerahkan sesuatu yang saya pikir merupakan identitas utama saya: homoseksualitas. Berdiri di hadapan Dia, merasa telanjang dan rapuh, tanpa tahu identitas saya akan datang dari mana, Ia menyingkapkan diri-Nya sendiri sebagai Pribadi yang maha cukup.
Suatu hari, semasa perjalanan penyembuhan saya, saya merasa terpaku dan batin saya kebas. Kehadiran pemikiran tentang menemukan lengan maskulin untuk memberi dukungan begitu kuat, sebagai jalan ke luar yang potensial dari rasa sakit saya.Lalu saya berseru kepada Allah untuk membiarkan saya merasakan kasih-Nya. Tanggapan-Nya ialah menunjukkan Yesus yang tersalib, dan saya merasa Ia mengatakan, “Di saliblah Saya menunjukkan bahwa kasih Saya dan anugerah Saya cukup bagi-Mu.” Kemudian saya mengerti bahwa penyembuhan adalah suatu proses. Pada saat itu, pemahaman ini cukup untuk memberi saya rasa teguh di tengah-tengah rasa sakit saya. Saya menemukan sebuah tempat yang mantap (solid) di mana Ia mampu membangun dan menyingkapkan identitas sejati saya dalam Dia.
Hak Cipta @2010. Pancaran Anugerah. Hak Cipta dilindungi.
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh materi ini tanpa izin.
© PancaranAnugerah.ORG. All Rights Reserved. Designed by HTML Codex