Saya ingat saat di mana orang yang melecehkan saya mengundang saya untuk datang ke pelukannya. Pada waktu itu saya berusia delapan tahun, penuh dengan rasa penasaran dan kebutuhan akan penerimaan. Jadi saya hanya menurut saja dilibatkan dalam pengalaman seksual bersamanya. Pada awalnya saya tidak tahu bahwa perbuatannya itu salah, sehingga saya menerimanya sebagai hal yang wajar. Saya malah mengira perbuatan tersebut adalah cara untuk mendapatkan perasaan diterima oleh seseorang dan berharga bagi orang itu.
Seiring saya bertumbuh sebagai remaja, saya mulai menyadari makna kata incest (hubungan seks dengan saudara sekandung). Meskipun saya tidak tahu cara menghadapi pelecehan yang saya alami, saya tahu bahwa hal itu tidak benar. Saya tidak ingat kapan pastinya saya mengetahui bahwa hal itu salah. Tetapi jauh di lubuk hati saya timbul rasa malu yang membuat saya bungkam dan takut untuk bercerita kepada orang lain. Allah terasa sebagai Bapa yang jauh. Saya berdoa meminta pertolongan kepada-Nya, namun pertolongan itu tidak pernah tiba. Jadi saya mulai mematikan fungsi perasaan dalam kehidupan saya. Bagi saya, Allah tidak cukup nyata dan tidak cukup berkuasa untuk menolong saya mengatasi dampak pelecehan tersebut.
Kebisuan adalah teman baik saya. Saya juga mulai merindukan kenikmatan dari peristiwa pelecehan tersebut, dan hal itu membuat saya merasa bersalah dan malu. Faktanya, saya mulai berinisiatif mengajak si pelaku berhubungan seks dengan saya. Jadi saya berpikir bahwa saya pun juga pantas dipersalahkan atas pelecehan yang saya alami. Rasa takut adalah teman baik saya, dan rasa takut itu mencengkram saya. Bagaimana jika seseorang mengetahui masa lalu saya yang kelam? Maka saya mulai membangun “tembok” di sekeliling diri saya, mencegah orang-orang di sekitar saya agar tidak mengetahui perasaan batin saya. Pelecehan tersebut berlanjut sampai saya berusia 17 tahun.
Saya merasa diri saya seperti keset kaki yang kotor. Saya sudah ternoda begitu rupa sampai-sampai tidak dapat dibersihkan lagi. Hati terdalam saya merasa bahwa sebenarnya sayalah orang jahatnya. Fakta bahwa saya menikmati pelecehan itu, fakta bahwa selanjutnya saya mulai berinisiatif mengajak si pelaku berhubungan seksual, fakta bahwa saya merasa terangsang oleh si pelaku, semua ini membuat saya melihat diri sebagai orang jahat dan tidak pantas dikasihi.
Jadi pada saat saya memasuki usia dewasa, saya belajar menggunakan berbagai strategi untuk menanggulangi luka-luka batin akibat pelecehan tersebut. Saya menjaga jarak dengan semua orang, sering menawarkan pertolongan kepada orang lain, serta menyediakan “telinga yang mendengarkan”. Saya berusaha untuk disukai oleh tiap orang. Tetapi saya merasa seperti lukisan yang tergantung di dinding museum tanpa diamati oleh seorang penafsir lukisan. Saya memang manis untuk dilihat, tampak sempurna di luar. Namun sesungguhnya emosi saya berantakan. Saya berusaha menutupi caruk marut-nya perasaan beserta amarah yang berasal dari tindakan saya menceburkan diri ke dalam kecanduan seksual yang seiring waktu meningkat dan menjadi cara saya menyembunyikan tiap kondisi emosi yang saya rasakan.
Tuhan menjadi nyata buat saya secara perlahan-lahan. Ia memasuki hidup saya ketika saya kewalahan atau bahkan sama sekali kehilangan kendali atas hidup saya dan merasa amat lelah di dalam usaha saya menjalani hidup di balik sebuah “tembok.” Saya ditarik kepada salib Kristus. Pemahaman bahwa Kristus telah menanggung luka batin saya dan amarah saya membebaskan diri saya dan memberi saya kelepasan dari dampak-dampak pelecehan. Saya mulai melihat bahwa saya tidaklah sendirian. Yesus mulai menyingkirkan kotoran dan lumpur, serta memakaikan pakaian putih kepada saya.
Suatu saat ketika berdoa, pikiran saya menangkap suatu gambaran yang seperti sebuah film. Saya memasuki ruang takhta Allah. Saya berdiri di situ dalam kondisi telanjang dan merasa hina. Allah berjalan menghampiri saya serta memeluk saya. Air mata-Nya berjatuhan ke atas tubuh saya. Saya terisak-isak ketika menceritakan semua luka batin saya kepada-Nya, termasuk cara-cara yang saya pakai untuk memenuhi kebutuhan seksual saya. Saya mengatakan kepada-Nya bahwa saya telanjang. Ketika saya selesai mengatakannya, tiba-tiba saya sudah berpakaian jubah putih bersih. Saya mampu merasa bahwa diri saya diterima dan dikasihi. Saya tidak lagi perlu menjalani hidup dengan mengasingkan diri ataupun bersembunyi dari orang lain.
Kristus telah menjadi tempat kediaman saya pada waktu saya menghadapi kenyataan bahwa saya perlu mengampuni orang yang telah melecehkan saya. Di samping itu, saya juga perlu meminta pengampunan atas dosa yang saya lakukan terhadap dia. Allah terus berjalan bersama saya di dalam proses kehidupan ini dan Ia menarik saya untuk terlibat di dalam berbagai relasi yang sehat serta memberi saya keberanian untuk dikenal oleh orang lain.
© PancaranAnugerah.ORG. All Rights Reserved. Designed by HTML Codex