Libatkan Ayah dalam Mendidik Anak

Libatkan Ayah dalam Mendidik Anak

Sebuah survei di Amerika menyebut, kini peranan ayah dalam keluarga meningkat. Berbagai kajian para psikolog menyatakan, ayah kini mengambil peranan sangat besar dalam aktivitas rumah tangga maupun dalam proses mendidik anak. Para pria juga mengambil cuti saat “menjadi ayah” karena ingin memberikan waktu lebih besar bagi bayinya. Peranan yang dimaksud di sini adalah aktif dalam membentuk perkembangan emosi anak, menanamkan nilai-nilai hidup, dan kepercayaan dalam keluarga. Bagaimana di Indonesia?

Di Indonesia, kini memang begitu banyak buku maupun artikel dari majalah bertemakan “ayah” diminati pasangan muda, terutama prianya. Namun, sejauh mana perkembangan peranan para ayah ini, belum diketahui karena minimnya penelitian tentang keayahan di Indonesia. Lalu, mengapa para ayah dituntut berperan aktif dalam proses mendidik anak? Tidak cukupkah peranan dan perhatian yang diberikan oleh ibu sebagai sumber kasih sayang dalam keluarga?

Berbagai riset tentang perkembangan anak menunjukkan, pengaruh seorang ayah dimulai sejak usia yang sangat dini. Misalnya ditemukan, bayi laki-laki berusia lima bulan yang banyak menghabiskan waktu dengan ayahnya, menjadi jauh lebih nyaman berada di antara orang-orang asing dewasa. Bayi ini lebih banyak mengoceh dan menunjukkan kerelaan untuk digendong dibandingkan dengan bayi yang ayahnya kurang terlibat.

Gaya permainan ayah yang lebih melibatkan fisik seperti mengangkat, mengayun, atau memutar, ternyata lebih menggairahkan emosi anak dibandingkan dengan pola asuh ibu yang lebih tenang karena ingin menjaga emosi anak-anaknya. Para ayah menciptakan permainan baru yang aneh, sedangkan ibu menggunakan kegiatan yang sudah lazim seperti cilukba atau pok ame-ame. Gaya bermain ayah yang “kasar” penting bagi anak untuk belajar tentang emosi yang bermanfaat bagi anak pada saat ia bertualang ke dunia luar — dunia dengan teman-temannya.

Paling Populer
Ross Park dan Kevin Mac Donal dalam “Parent-Child Physical Play: The Effect of Sex and Age of Children and Parents” menyebut, para ayah yang memperlihatkan tingkat permainan fisik tinggi, anak-anaknya menjadi paling populer di antara teman-teman sebayanya. Tapi dalam riset ini juga ditemukan, para ayah yang permainan fisiknya tinggi namun bersifat sangat memerintah dan memaksa, anak-anaknya memiliki nilai popularitas paling rendah.

Dikatakan juga, para ayah yang suka mengambil alih permainan dengan kecaman dan hinaan, anak-anak mereka memiliki tingkah laku yang agresif dan banyak menemukan kesulitan di sekolah. Sedangkan para ayah yang menjaga interaksi positif dan membiarkan anak-anaknya yang mengarahkan jalannya permainan, memiliki hubungan yang baik dalam pergaulan dan nilai akademisnya bagus.

Terlepas dari itu, di sini peranan ibu tetaplah penting. Namun dalam riset ini juga ditemukan, kualitas hubungan dengan ibu bukan merupakan peramal yang sama kuat mengenai keberhasilan atau kegagalan anak dibanding dengan kualitas hubungan anak dengan para ayah.

Dari penelitian ini tersirat, betapa peran aktif ayah dalam mendidik anak ternyata menimbulkan perbedaan yang sangat dahsyat bagi anak-anak dan bisa menentukan masa depan mereka. Sebagaimana diketahui, tantangan pergaulan anak-anak zaman sekarang jauh berbeda dengan dulu. Narkoba, tawuran, gang motor yang kriminal, pornografi dan pornoaksi adalah bentuk kenakalan remaja yang sudah menunggu di pintu sekolah anak-anak. Bahkan mungkin sudah berada di dalam rumah.

Ahli psikologi Ronald Levant dalam “Fatherhood Project”-nya menyatakan, pria punya kemampuan mengenali dan menanggapi emosi anak-anaknya secara konstruktif dibanding wanita. Sehingga, dengan besarnya tantangan kenakalan yang akan dihadapi anak atau remaja nanti, maka tidak bisa tidak, peranan ayah dalam mendidik anak mutlak dilaksanakan.

Mengapa Sulit?
Pertanyaan yang mungkin timbul sekarang, mengapa sangat sulit bagi pria untuk dekat dengan anak-anak? Terlebih dalam budaya ketimuran, tugas-tugas tradisional mengasuh anak seperti memberi makan, memandikan, mengenakan pakaian dan sebagainya, seakan-akan tabu dilakukan kaum pria. Lalu, bagaimana mesti memulai keterlibatan itu?

Mulailah, misalnya, pria terlibat dalam perawatan anak sejak kehamilan istrinya. Ini merupakan langkah awal dalam hubungan harmonis dalam keluarga. Hal itu akan menguntungkan perkawinan suami-istri, keberhasilan anak dan kebahagiaan seluruh anggota keluarga. Dari sejumlah pengalaman para istri, peran aktif suami saat merasakan sakit dalam melahirkan akan menjadikan rasa sakit yang dirasakan istri cenderung berkurang dan melahirkan menjadi pengalaman yang positif.

Kedekatan seorang ayah setelah kelahiran bayinya juga biasanya berkelanjutan hingga masa kanak-kanak, remaja dan dewasa. Fondasi komunikasi yang terbina tidak akan mudah patah sehingga masalah-masalah yang mungkin dihadapi oleh ayah akan bisa diatasi.

Para ayah tetaplah peka terhadap kebutuhan anak sehari-hari, komitmen untuk tetap melanjutkan kegiatan merawat anak saat bayi kadang-kadang bisa berubah saat anak memasuki fase yang lain dalam pertumbuhannya. Misalnya sewaktu bayi, ayah biasa mengganti popok anak dan memakaikan baju, tetapi saat anak beranjak remaja kegiatan itu sudah tidak dilakukan lagi. Sang ayah bisa menyempatkan untuk mengancing baju anak atau sekadar mengambilkan kaus kaki, merupakan hal yang kesannya sepele tetapi sangat membangun kedekatan emosi dengan anak.

Saat pulang kerja sempatkan melakukan kegiatan kecil bersama, misalnya membaca buku atau mengerjakan pekerjaan rumah bersama sambil membahas tentang kegiatan anak di sekolahnya. Dengan begitu, anak juga akan makin membuka diri dengan orangtuanya dan mau menceritakan masalah ataupun kecemasan-kecemasan yang ia rasakan. Ini karena sang ayah, misalnya, tahu nama teman-temannya sampai gurunya. Seandainya ada perbedaan pendapat, sebaiknya tidak mengawali dengan cercaan, tapi dengan ajakan atau pertanyaan yang tak menyudutkan.

Beri Kesempatan
Perlu diatur keseimbangan antara kehidupan kerja dan keluarga karena peran utama ayah dalam keluarga sebagai pencari nafkah. Artinya, ketersediaan waktu para ayah akan terbatas. Di sini, prinsip kualitas hubungan dengan anak harus lebih diutamakan daripada kuantitas hubungan. Tindakan ekstrem seperti menolak kenaikan pangkat demi untuk menyediakan waktu bagi anak tidak perlu diambil. Di sisi lain, segala bentuk permasalahan dalam ruang lingkup pekerjaan sebaiknya tidak dibawa ke rumah.

Dalam kondisi “tegangan tinggi”, umumnya rawan anak menjadi pelampiasan kemarahan seorang ayah yang belum selesai di tempat kerja. Profesi yang digeluti ayah juga sangat menentukan keseimbangan antara kerja dan keluarga. Ayah yang berwiraswasta mungkin akan lebih memiliki keluwesan waktu dibandingkan dengan ayah yang profesinya pilot yang memiliki jadwal terbang yang padat. Sehingga, kembalikanlah ke prinsip kualitas dibanding kuantitas tadi.

Betapapun, kesediaan para ibu untuk berbagi tugas dengan ayah juga tetap dituntut. Sering kali para ibu tidak memberikan kesempatan kepada suaminya untuk melaksanakan peran aktifnya dalam mendidik anak. Semua tugas diborong ibu. Mungkin juga ada semacam kekhawatiran, ibu akan takut dianggap tidak becus atau mendapat sorotan dari keluarga besar jika ternyata ayah mampu berperan aktif.

(adelia, sarjana psikologi)

Dari: Bali Post 3 September 2006   halaman 6
Kontak Kami logo Donasi

© PancaranAnugerah.ORG. All Rights Reserved. Designed by HTML Codex