Jika saya berhenti, saya mati. Apakah ini artinya ketika saya tidak melakukan apa-apa, saya mati? Mati menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya tidak bernyawa; tidak berasa lagi; tidak dapat berbuat apa-apa; tidak dapat berubah lagi; sudah tidak dipergunakan lagi; tidak ada gerak atau kegiatan. Ini sesuatu yang menakutkan bukan?
Menakutkan, karena saya sering berasumsi, “Jika saya tidak melakukan hal ini, tidak ada yang akan melakukannya. Segala sesuatu bergantung pada saya. Jika saya sengaja berhenti melakukannya, apa yang bakal terjadi?” Saya tidak rela mendengar jawabannya dan melihat kenyataannya.
Mungkin Anda menangkap adanya kesombongan pada kalimat-kalimat saya di atas. Tapi itulah yang terjadi. Saya menimbun pekerjaan ke atas bahu saya. Akibatnya, saya sering merasakan kehilangan makna dari apa yang saya lakukan. Terkadang saya bergerak dengan perintah yang tidak saya sadari. Pada waktu tertentu saya mati rasa dengan sapaan atau kejutan-kejutan dari orang-orang di sekitar. Ungkapan terima kasih dari mereka terdengar seperti hal biasa tanpa penghargaan. Saya bahkan tidak lagi merasakan kepuasan dari keberhasilan suatu pencapaian. Saya melewatkan sukacita hidup karena tuntutan yang menghancurkan saya. Jadi, yang sebenarnya terjadi adalah saya telah mati di tengah tumpukan tuntutan pekerjaan. Maka sudah waktunya saya perlu berhenti untuk memperoleh kehidupan.
Dalam keadaan seperti di atas, dibutuhkan “berhenti” yang lebih dari sekadar keluar dari suatu pekerjaan, mencari hiburan atau mengambil cuti untuk istirahat. Gordon MacDonald sama sekali tidak mengkritik saat-saat yang penuh kesenangan, peralihan, tawa, atau rekreasi. Dia mengusulkan bahwa hal-hal ini saja tidak akan memulihkan jiwa seperti yang kita dambakan. Meskipun semua ini boleh menyediakan semacam istirahat sesaat bagi tubuh, tetapi hal itu tidak memuaskan kebutuhan terdalam akan istirahat dalam dunia pribadi kita.
Fakta di Alkitab menunjukkan kepada kita bahwa Allah sendiri yang pertama beristirahat: “Berhentilah Ia pada hari ketujuh” (Kejadian 2:2). Sebuah komentar yang menegaskan fakta ini dibuat oleh Musa dalam Keluaran 31: 17, “sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, dan pada hari yang ketujuh Ia berhenti bekerja untuk beristirahat.” Tuhan Yesus dalam masa pelayanan-Nya di bumi memperjelas bahwa hari perhentian yang disebut “Sabat” ini diadakan untuk manusia (Markus 2:27). Dan Sabat masih disediakan Allah bagi umat-Nya sampai sekarang (Ibrani 4: 9). Jadi, tidak ada alasan untuk kita mengabaikan Sabat.
Meskipun demikian, sering kali kita berusaha mencari-cari alasan untuk tidak menguduskan hari Sabat. Dari semua alasan itu yang sesungguhnya terjadi adalah: “Ketika kita berhenti, kita begitu takut pada apa yang akan kita lihat dalam diri kita. Ada rasa takut dan malu di balik permukaan hidup kita.” Ketika saya mencoba melakukan Sabat seperti anjuran Peter Scazzero dalam bukunya, ternyata saya pun mengalami ketakutan itu.
Ketika saya berhenti bekerja, saya merasa tidak berdaya. Saya harus menenangkan dorongan perfeksionis yang meronta-ronta dalam batin saya. Kecemasan akan tidak bisa menyelesaikan target mulai mengganggu saya. Keinginan untuk mengendalikan segala sesuatu terpaksa harus saya pasung.
Ketika saya menikmati istirahat, ada rasa bersalah karena tidak memanfaatkan waktu untuk mengerjakan sesuatu. Tetapi ketika dengan sadar saya menerima undangan Allah untuk beristirahat dengan mengizinkan diri saya membaca Firman Tuhan, olah raga, membuat kerajinan tangan, tidur, memasak dan makan. Semua saya lakukan tanpa terburu-buru dan target hasil. Saya merasa lebih tenang dan disegarkan.
Tantangan yang lain adalah begitu sulit saya menemukan rasa senang. Namun tekad untuk mau berhenti dan beristirahat menolong saya bisa fokus menyadari keberadaan saya hari itu dan mengaktifkan seluruh panca indera saya untuk menikmati kesenangan hari itu.
Saya mengakhiri Sabat dengan merenungkan kebaikan Allah. Bagaimana Allah menunjukkan kebaikan, kesegaran, keindahan, dan kenikmatan yang sulit saya rasakan ketika saya sibuk. Allah membimbing saya mengenali kebaikan-Nya yang tersembunyi yang sedang bekerja dalam kehidupan saya.
Sabat laksana permata yang sangat berharga dengan banyak lapisan, masing-masing mencerminkan kehadiran Allah bersama kita dan kasih-Nya pada kita. Seperti lapisan-lapisan yang mencerminkan aspek-aspek unik dari sebuah permata, Sabat bisa menjadi semakin indah ketika kita semakin menyelidiki dan mempraktikkannya. Saat itulah kita menemukan diri kita menatap cahaya lapisan Sabat yang indah, mengagumi dan terkesima melihat keindahan Allah yang ditunjukkan melalui Sabat.
Jika kita menolak melaksanakan Sabat, cepat atau lambat, dalam satu cara atau cara lainnya, kita akan menemukan diri kita roboh – secara emosi, fisik, dan/atau rohani. Karena menurut Sam Lam dalam The Emotionally Healthy Leader, Allah seringkali memberhentikan kita ketika kita berulang kali melanggar keterbatasan kita dan mengabaikan kebutuhan kita untuk istirahat. Pada saat rapuh seperti inilah, Dia akan menawarkan kembali Sabat kepada kita dan Allah akan mulai memperbarui kita.
Rn
Sumber Referensi:
MacDonald, Gordon. Menata Dunia Pribadi Meniti Sukses Sejati. Waskita Publishing. 2012.
Scazzero, Peter. The Emotionally Healthy Leader (Pemimpin yang Sehat secara Emosi). Literatur Perkantas Jawa Timur. 2017.
Praktek: Temukan momen-momen Sabat Anda
Lihatlah momen-momen Sabat mini pada hari ini – pada saat Anda bangun pagi, rehat siang hari, sebelum rapat, dll. Saat kesempatan-kesempatan itu tiba-tahanlah dorongan untuk menggapai HP, dan sebaliknya, gapailah Allah dalam keheningan pikiranmu, panggillah nama-Nya dan beristirahatlah dalam kasih-Nya sejenak untuk menyadari kehadiran Allah Bersama Anda saat ini.
Pertanyaan Refleksi:
- Bagaimana keadaan fisik, emosi dan jiwa serta spiritual Anda saat ini? Bagian mana yang membutuhkan perhatian Anda?
- Apakah Anda sudah mempraktekkan dalam hidup Anda? Jika belum, apa yang menghalangi Anda untuk berhenti dari pekerjaan dan mempraktekkan Sabat?
- Bagaimana saya bisa bergerak untuk mulai memasukkan Sabat sebagai praktek mingguan dan sebagai cara hidup saya?
- Buatlah perencanaan sederhana (sesuai kapasitas dan waktu Anda), apa yang akan Anda lakukan dengan Sabat? Sharingkanlah rencana Anda pada sahabat atau kelompok akuntabilitas Anda untuk mendapatkan dukungan!