Pendahuluan
“Merdeka!” Kita baru merayakan hari kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke 78, pada tgl 17 Agustus 2023. Sebagai para alumni Pancaran Anugerah, apakah Anda sudah mengalami kemerdekaan emosi? Apakah Anda sudah merdeka untuk mengizinkan diri merasakan semua emosi Anda?
Film Inside Out, Sutradara: Pete Docter, dirilis th 2015, memperkenalkan 5 emosi dasar: senang (joy), sedih (Sadness), marah (anger), jijik (disgust), dan takut (fear). Riley, seorang gadis remaja usia 11 tahun menghadapi perasaan campur aduk saat harus pindah ke San Fransisco karena tuntutan pekerjaan papanya. Masalah ini menjadi tantangan bagi kelima emosi Riley untuk membuatnya tetap bahagia.
JOY sebagai emosi utama, yang menjadi semacam leader dari emosi lainnya, merasa bahwa ini merupakan tanggung jawabnya untuk membuat Riley bahagia. Usaha Joy untuk membuat Riley tetap bahagia, dan dorongan Sadness untuk membuat Riley sedih, justru menimbulkan masalah. Masalah ini membuat emosi serta kepribadian Riley berada dalam keadaan tidak stabil. Namun pada akhirnya Joy paham pentingnya sadness bagi Riley, dan tidak setiap saat Riley harus bahagia.
Kebanyakan kita punya perasaan yang sama seperti Joy, ingin selalu bahagia setiap saat, tidak mau sedih. Karena sedih membuat orang merasa lemah, tak berdaya, dan terpuruk. Inilah mengapa banyak anggapan bahwa orang yang menangis adalah orang yang lemah. Kita mungkin berharap agar kesedihan itu tidak ada. Namun pada kenyataannya semua emosi yang kita rasakan justru yang membuat kita menjadi diri sendiri.
Sumber kemerdekaan adalah kebenaran tentang Tuhan dan kebenaran tentang diri sendiri. Dengan mendengarkan emosi/perasaan-perasaan kita akan membuat kita menemukan kebenaran tentang diri lebih utuh. Dengan keterbukaan pada emosi, kita mengizinkan Tuhan menyentuh area-area gelap dan rentan hidup kita dengan terang-Nya untuk dipulihkan dan ditransformasi menjadi diri sejati yang Allah kehendaki. Inilah kemerdekaan sejati yang sesungguhnya.
Apa yang kita percayai tentang emosi selama ini?
Sebagian besar kita mungkin diajarkan bahwa semua perasaan tidak bisa diandalkan, perasaan itu naik turun sehingga tidak bisa dipercaya, bahkan menandakan kelemahan serta tidak masuk akal. Namun, itu pandangan yang tidak tepat. Hal ini membuat kita cenderung mengabaikan perasaan-perasaan, terutama yang lebih sulit, seperti takut, sedih dan marah. Perasaan sering kali menjadi bagian dari diri kita yang dianaktirikan ataupun diremehkan.
Apakah Allah memiliki maksud menciptakan manusia dengan unsur perasaan/emosi?
Perasaan-perasaan kita adalah sesuatu yang bernilai dan menjadi bagian penting dari kemanusiaan kita yang utuh. Ketika kita mengabaikan penderitaan, kehilangan, dan semua perasaan kita selama bertahun-tahun, kemanusiaan kita menjadi makin berkurang; ibarat robot yang tidak memiliki jiwa.
Emosi dapat menjadi alat yang penting untuk memahami diri dan berhubungan dengan orang lain. Jika kita tidak bersentuhan dengan perasaan-perasaan kita sendiri, kita tidak akan dapat sungguh-sungguh memahami bagaimana perasaan orang lain. Dan ini akan memengaruhi kualitas dan kedalaman relasi-relasi kita dengan orang-orang terdekat dalam hidup kita.
Jika kita memberi ruang bagi perasaan-perasaan kita untuk menyatakan dirinya, dan jika kita belajar sungguh-sungguh mendengar perasaan-perasaan itu, kita akan mengalami bahwa perasaan-perasaan itu hidup. Kita akan belajar untuk memercayai dan menghargai kebijaksanaannya. Allah pun dapat menyatakan kehendak-Nya dan menjumpai kita melalui emosi-emosi kita.
Cuplikan dari buku “The Cry of the Soul”, karya Dan Allender dan Tramper Longman, meringkas alasan mengapa kepekaan terhadap perasaan-perasaan kita sangatlah penting:
“Mengabaikan emosi-emosi kita sama dengan berpaling dari kenyataan. Mendengarkan emosi-emosi kita bisa mengarahkan kita pada kenyataan. Dan kenyataan adalah tempat kita bertemu Tuhan…. Semua emosi adalah bahasa jiwa…. Dengan mengabaikan emosi-emosi kita yang kuat, kita sedang bersikap palsu terhadap diri sendiri, dan kehilangan kesempatan indah untuk mengenal Allah. Kita lupa bahwa perubahan muncul melalui kejujuran yang sangat tidak menyenangkan dan kerapuhan di hadapan Allah.”
Perasaan memiliki bahasa dan kecerdasan sendiri. Salah satu tanda orang yang cerdas emosinya adalah dia tahu apa perasaan yang sedang muncul, mengapa perasaan itu muncul serta apa pemicunya. Kita perlu mulai belajar menamai emosi-emosi yang muncul. Para ahli telah mengelompokkan emosi ke dalam delapan kelompok utama:
✔ Marah (murka, merasa terganggu, jengkel, bermusuhan)
✔ Sedih (duka, kasihan pada diri sendiri, putus asa, ditolak, kesepian).
✔ Takut (gelisah, cemas, bimbang, gugup).
✔ Bahagia (Sukacita, lega, puas, senang, eforia).
✔ Terkejut (heran, tercengang, kagum).
✔ Jijik (merendahkan, meremehkan, muak).
Kita harus belajar untuk menerima semua emosi yang ada, seburuk apa pun itu. Tidak usah percaya pada kata orang bahwa orang yang menangis adalah orang yang lemah. Justru menangis menunjukkan penerimaan kita pada sitausi serta perasaan kita sendiri. Menangis juga merupakan reaksi alami tubuh untuk mengeluarkan energi negatif dari dalam tubuh. Makanya kita selalu merasa lebih lega setelah selesai menangis. Jadi, jika merasa sedih, jangan ragu untuk menangis.
Salah satu fungsi emosi adalah pembawa pesan penunjuk. Misalnya, ketika kita marah, artinya ada sesuatu yang tidak berjalan sesuai harapan kita…. Jika kita mendengarkan dan memahaminya, kita akan lebih mudah mengelola dan mengendalikannya. Jika tidak, merekalah yang mengendalikan hidup kita tanpa kita sadari. Misalnya, jika kita sering marah tanpa memahami dari mana asal kemarahan ini, kemarahan akan menjadi momok yang senantiasa membayangi dan bisa muncul tanpa terkendali. Jika kita tahu penyebab kemarahan kita adalah karena harapan kita yang tidak terpenuhi, kita dapat
mengatasinya dengan menurunkan harapan kita atau mengkomunikasikan harapan kita kepada orang terdekat kita.
Proses kita menuju perubahan sejati sebagai pribadi yang utuh, dengan spiritualitas yang sehat secara emosi dimulai dengan sebuah komitmen mengizinkan diri kita untuk merasakan. Ini merupakan sisi penting dari kemanusiaan kita sebagai pria dan wanita yang diciptakan dalam gambar dan rupa Allah.
Dasar Firman
Alkitab menyatakan Allah sebagai keberadaan yang memiliki emosi, yang bisa merasakan—seorang Pribadi. Karena kita diciptakan dalam rupa dan gambar Allah, kita juga diciptkan dengan karunia untuk merasakan dan mengalami berbagai emosi.
Berikut adalah beberapa ayat dari perjanjian lama dan baru yang menunjukkan bahwa Allah dapat merasakan emosi-emosi-Nya serta mengekspresikannya.
Kej. 1:25,31: “Allah melihat bahwa semuanya itu… sungguh amat baik.” Ayat ini mengungkapkan bahwa Allah senang, puas, dan bersuka atas kita, ciptaanNya yang dilihatnya sungguh amat baik.
Yer.31;3: “Aku Mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setiaKu kepadamu.”
Mark 3:5: “Ia berdukacita karena kedegilan mereka (orang Farisi) dan dengan marah Ia memandang sekelilingNya kepada merela lalu Ia berkata kepada orang itu: “Ulurkanlah tanganmu!” dan ia mengulurkannya, maka sembuhlah tangannya itu.”
Yohanes 11:33, 35: “Waktu melihat Maria dan orang Yahudi yang datang bersamanya menangis, Yesus pun merasa sangat sedih dan bersusah hati…. Lalu Yesus menangis.”
Cerita saya
Saya berasal dari keluarga yang tidak terbiasa membicarakan atau pun bersentuhan dengan perasaan Jadi, saya terbiasa menekan emosi-emosi saya yang lama kelamaan membuat saya jadi “telsa”…. apa itu? Jika Saudara tahu istilah “telmi” (telat mikir), nah ini saudaranya. “Telsa” (Telat merasa)…. Itu efek dari kurangnya saya memberi perhatian terhadap emosi dan perasaan-perasaan saya. Contohnya jika orang ngomong yang menyakitkan, saat itu terjadi saya biasa saja…. Namun, saya mulai berubah sikap
kepada dia dan malas berelasi lagi sama dia tanpa saya sadari apa penyebabnya. Baru kemudian, saya memahami bahwa saya tersinggung dengan perkataannya.
Selain itu, beberapa kali saya bisa menangis atau marah tanpa saya mengerti mengapa saya bisa beremosi seperti itu? Setelah sekian lama saya merenungkannya, baru saya memahami mengapa saya menangis atau marah.
Namun, Tuhan banyak membukakan area emosi-emosi yang sudah lama masuk ke gudang waktu saya mengambil masa Sabatikal dengan magang di Journey Canada. Saat itu, ada teman yang mengajak saya keluar hang out dengan teman-temannya (yang saya tidak kenal), saya bilang bahwa sudah malam dan saya buat alasan supaya tidak ikut. Tapi dalam doa saya malam itu, Tuhan seperti membawa saya pada alasan sesungguhnya saya tidak mau ikut, yaitu takut kesepian. Tuhan membuka perasaan kesepian yang mendalam yang membuat saya menangis merasakan kesepian malam itu. Rupanya ini perasaan saya sejak kecil merasa kesepian dan terisolasi walau di tengah orang banyak, dan ini perasaan yang sangat tidak enak. Dan, saya baru memahami bahwa saya bergumul dengan isu kesepian sejak kecil, karena kesibukan orang tua dan kebutuhan emosi yang kurang terpenuhi.
Sejak saya menyadarinya, saya membawa dan mengizinkan Tuhan melayani hati saya yang kesepian dengan kasih dan kehadiran-Nya. Saya juga mulai menyadari mengapa saya selalu membuka musik di rumah, dan jika suasana hening, saya akan bersenandung atau mengeluarkan suara. Saya tidak nyaman saat sepi, maka saya mengatasinya dengan menciptakan suara di sekeliling saya. Namun sesungguhnya akar masalah saya bukan karena saya butuh keramaian, melainkan saya butuh kehadiran orang yang mengasihi dan memperhatikan serta mau berbincang untuk mengerti isi hati saya.
Sejak saya mulai belajar dan mengizinkan diri saya merasakan emosi/perasaan-perasaan saya, saya makin mengenal diri saya yang tersembunyi selama ini. Ibarat potongan-potongan puzzle, diri saya menjadi lebih lengkap dan membuat saya mengenali diri lebih utuh.
Tantangan:
Jika Anda rindu melanjutkan proses pemulihan lebih mendalam, maka mengizinkan diri bersentuhan dengan emosi-emosi yang menyakitkan, adalah persyaratan yang penting. Jika Anda mengingat pelajaran di program Journey, bahwa kita mungkin pernah mengalami pelecehan fisik, emosi, verbal, atau seksual yang melukai batin kita. Tidak hanya dengan mengetahui fakta ini kita akan sembuh. Tapi kita perlu mengizinkan diri kita merasakan kepedihan luka ini bersama Tuhan untuk mengalami perawatan luka-luka batin kita. Demikian pula, dalam proses melepaskan pengampunan lebih mendalam, kita perlu mengizinkan diri kita merasakan kembali kemarahan dan sakit hati serta kerugian akibat apa yang telah dilakukan orang yang telah menyakiti kita.
Izinkanlah diri Anda mengalami sepenuhnya semua perasaan Anda. Percayalah Allah bisa
datang kepada Anda melalui perasaan-perasaan tersebut.
Bagaimana kita dapat lebih hidup dalam bersentuhan dengan emosi/perasaan kita?
Langkah awal penting adalah kita perlu memercayai nilai kebijaksaan batin. Seperti halnya tubuh dan rasio kita memiliki kebijaksanaan sendiri yang khas, demikian juga batin kita memiliki bahasa dan kebijaksanaannya yang sama pentingnya.
Ada 4S yang dapat menjadi langkah praktis kita bersentuhan dengan emosi-emosi kita:
S1 – Self Awareness – Mengenal dan menamai Emosi
✔ Kita perlu belajar memahami diri sendiri. Saya sedang merasa apa? Kita belajar menamai perasaan kita. Lalu mengapa kita merasa sedih atau marah atau jengkel? Kepada siapa? Kita memahami penyebab perasaan kita. Pertanyaan-pertanyaan ini akan menolong kita memahami diri kita.
✔ Sadari gejala yang terlihat biasanya menandakan bahwa kita mengalami suatu perubahan dalam keseimbangan kita sehari-hari. Misalnya, kelesuan semangat dan berkurangnya konsentrasi, sulit tidur, mimpi-mimpi aneh, dan ada pula gejala fisik yang terganggu.
S2 – Self Talk & Listen – Tanyakan dan Dengarkan Emosi
Ibarat kita menyediakan waktu untuk mendengarkan seorang teman, demikianlah saat kita mendengarkan perasaan-perasaan kita. Tujuannya bukanlah mengatasi seluruh kesulitan itu! Melainkan, kita hendak memahami perasaan kita sendiri.
- Kita harus tinggal bersama perasaan-perasaan itu
- Mengizinkan mereka berbicara pada kita
- Mengajukan pertanyaan-pertanyaan padanya, dan memikirkan arti penting keberadaannya:
o Ada apa dengan perasaan kesepian yang tidak mempunyai dasar-dasar rasional ini?
o Ada apa dengan kecemasan yang melampaui batas-batas wajar untuk situasi dan kondisi seperti ini?
o Apa yang sesungguhnya saya takutkan?
o Akan jadi apakah perasana seperti itu?
o Apakah hal ini mempunyai kemiripan dengan peristiawa-peristiwa di masa lalu dalam kehidupan saya? - Proses ini membutuhkan waktu. Berhentilah sejenak dari kegiatan/kesibukan—masuklah dalam keheningan.
- Membutuhkan kejujuran. Berusaha memahami dengan ‘mata hati’ tentang apa yang hendak suara batin/perasaan-perasaan kita katakan pada kita.
- Proses ini kadang lebih menolong jika kita mengekspresikan dengan menulis dalam jurnal, ini akan menolong kita mengurai campuran emosi yang bagaikan benang kusut dalam emosi kita. Selain itu, dengan menulis kita seperti memberi waktu emosi-emosi kita bersuara untuk lebih dipahami pemikiran kita.
S3 – Say a Prayer & Listen – Curhat kepada Tuhan dan Dengarkan Tuhan
Bawalah dalam doa segala curahan hati Anda kepada Tuhan. Seperti Pemazmur mengajak kita mencurahkan isi hati kita di hadapan Allah, yang adalah perlindungan kita (Mazmur 62:8).
Perkatakanlah kepada jiwa/hatimu kata-kata yang membangun iman dan pengharapanmu kepada Allah, yang berasal dari janji dan firman Allah. Contoh yang sangat indah saat Pemazmur merasa tertekan adalah Mazmur 42: “ Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!”
S4 – Seek Friends or Counselor – Mencari Teman yang dapat dipercaya atau Konselor
Berbicara dengan teman-teman yang dapat dipercaya atau pasangan yang menerima kita apa adanya, dapat menjadi pengalaman yang menyembuhkan. Perhatian, kekuatan, dan cinta mereka merupakan cerminan dari kasih Allah yang akan menghantar kita untuk berjumpa dengan Allah sendiri dengan lebih jelas.
Jika membutuhkan kita dapat mencari konselor, orang yang diperlengkapi untuk bisa menolong kita menggali emosi-emosi masa lalu yang sudah lama terkubur. Dengan bantuan mereka, kita belajar memercayai dan merasa aman serta dituntun lewat pertanyaan-pertanyaan yang terarah, yaitu kita ditemani saat masuk ke emosi-emosi akibat luka-luka masa lalu.
Pertanyaan Reflektif
- Apakah yang Saudara percayai tentang emosi-emosi atau perasaan-perasaan, dari didikan keluarga ataupun pengajaran dari budaya ataupun gereja kita selama ini?
- Apakah Saudara cukup nyaman untuk bersentuhan dengan emosi-emosi sendiri? Mengapa?
- Adakah masalah-masalah yang Saudara alami cukup mengganggu hingga saat ini yang masih belum ditemukan jawabannya, yang mungkin berhubungan dengan emosi-emosi Saudara?
- Apakah ada hal baru yang Saudara terima dari materi ini, yang mendorong Saudara untuk mengambil satu langkah perubahan untuk memiliki kemerdekaan emosi?
Aplikasi
Renungkan dan terapkan doa Pemazmur dari Mazmur 42, saat jiwamu sedang tertekan dan gelisah. Izinkan Anda berinteraksi dengan hatimu dengan segala perasaan yang ada dan Anda berinteraksi dengan Allah dengan hatimu dalam kejujuran dan dengan iman akan janji Allah!
Sediakan waktu setiap hari di malam hari untuk bersentuhan dengan emosimu dengan menanyakan dua pertanyaan ini: Apa yang membuatmu paling merasa bahagia dan bersyukur? Apa yang membuatmu paling sulit? Namai emosimu, apa dan siapa penyebabnya! Bawalah emosi-emosi ini dalam doa kepada Tuhan dan dengarkan Tuhan merespons kepadamu.
Referensi
Emotionally Healthy Spirituality (Peter Scazerro).
Dengarkan Perasaan Anda (Myra Chave-Jones).
Emotion for Success (Josua Iwan Wahyudi).