Refleksi Visio Divina

Gb 1
Sejenak aku terpaku di depan lukisan yang misterius ini.
Dalam hati, aku bertanya-tanya kepada Tuhan:
“Mengapa Tuhan membawaku untuk memperhatikan lukisan ini?”
Aku pun terdiam sambil mengamati dengan hati.
Tiba-tiba aku begitu kesal dengan orang-orang yang ada di sekitar “bapa dan anak yang hilang itu”
Mengapa mereka begitu sinis terhadap pelukan bapa kepada anaknya yang hilang itu?
Apa yang sebenarnya ada dalam pikiran mereka?
Tiba-tiba ada Suara berkata kepadaku, “Bukan itu yang harus kamu perhatikan.”
Aku pun terkejut mendengar Suara itu.
Namun, aku tahu itulah suara Tuhan yang sedang berbicara kepadaku.
Maka aku pun mencoba menggeser pandanganku pada spot yang lain.
Aku mulai memperhatikan “bapa yang sedang memeluk anak yang hilang.”
Satu detik….
Dua detik….
Sampai kemudian lima menit….
Aku tidak mendapatkan koneksi apa pun dan merasa biasa saja dengan spot itu.
Tiba-tiba, kembali Suara itu berbicara kepadaku, “Kamulah anak yang hilang itu.”
Suara itu bukan menggelegar atau menghardik dengan penuh kemarahan.
Namun dengan nada penuh kasih, dan nada menanti respons dariku.
Aku pun kembali terdiam.
Aku… anak yang hilang?
Hilang ke mana? Hilang dari mana?
Bukankah aku sudah menaati suara Tuhan untuk mengambil Sabatikal?
Dan kembali mendekat pada Tuhan?
Hilang bagaimana Tuhan?
Tanyaku pada Tuhan
Segala jerih payah yang aku lakukan selama tiga bulan terakhir muncul.
Seakan sebuah film pendek diputar ulang di depanku.
Aku jadi tersadar dan berkata kepada Tuhan,
“Ya Tuhan, aku memang anak yang hilang…
Aku telah berjuang dengan segala usahaku.
Berjuang membuktikan kepada dunia dan sekitarku
bahwa aku adalah “Seseorang.”
Aku ingin menjadi terpandang, karena ada suara yang pernah merendahkanku.
Aku ingin menjadi “Seseorang” seperti yang aku inginkan.
Seperti yang aku mau, seperti yang aku impikan.
Namun, semua jerih payah yang aku lakukan
bukanlah cara Tuhan
Aku pun seperti anak yang hilang

Berjuang, berjalan sampai kasut pun terlepas dari kakiku.
Berlari untuk mengejar impianku sampai telapak kakiku terluka.
Berjuang, berjalan dan berlari sampai tak ada lagi tenaga yang tersisa.
Aku berjuang untuk membuktikan diriku kepada dunia sesuai dengan waktuku.
Semuanya itu ternyata sia-sia.
Aku pun terhilang dari Bapa di Surga.
Sekarang aku kembali kepada Bapa di Surga.
Kembali ke dalam pelukan Bapa yang Mahakasih.
Pelukan yang tidak menghakimi, tetapi yang menerima.
Pelukan yang memberi rasa aman.
Sehingga aku hanya bisa terkulai tak berdaya dalam pelukan Bapa.
Tak ada kata selain
“Terima kasih ya Bapa…
Ampuni aku kalau aku terhilang, tetapi tidak kusadari.
Mampukan aku untuk mau mengikuti langkah-Mu,
cara-Mu…
waktu-Mu…
dan kehendak-Mu….
Peluk aku erat-erat dalam anugerah-Mu
supaya aku tidak terhilang lagi dalam usaha pembuktian diri kepada dunia.
Ajari aku untuk melepaskan semuanya kepada-Mu saja.
Menanti Tuhan saja yang menyatakan apa yang sesuai dengan pikiran Tuhan.
Terima kasih Tuhan, terima kasih Bapa di Surga.”
Amin.
By Timotius Alfa