Tulisan Alumni: The Wonder Child- Anak Ajaib yang di dalam Kita

Tulisan Alumni: The Wonder Child- Anak Ajaib yang di dalam Kita

Imago Dei—
Setiap orang diciptakan serupa dengan Gambar Allah. Itu berarti kita membawa di dalam tubuh, jiwa dan roh kita, segala potensi kebesaran, kewibawaan, kebijaksanan, kemuliaan dan kreativitas illahi. Ketika Musa mengalami perjumpaan dengan Allah di semak belukar yang menyala (Kejadian 3:14) Allah memperkenalkan diri sebagai pribadi yang unik: ” Aku adalah Aku”. Di dalam setiap pribadi hadir potensi keunikan yang sama,” aku adalah aku”, sosok yang spesial sebagai aku. Tiada seorangpun menyerupai saya, dan uniknya saya membawa keunikan sifat- sifat Allah di dalam saya. Di dalam kepribadian setiap anak terdapat potensi ajaib yang kalau bertumbuh kembang secara normal, akan membawa dampak keberhasilan, kemuliaan dan kebesaran di dalam kehidupannya.

Itulah tujuan penciptaan yang sejati, agar kita mencerminkan Kemuliaan Allah. Seorang anak tidak akan bertumbuh kembang mencapai potensi maksimalnya tanpa menerima kasih sayang tanpa syarat, perhatian dan pengasuhan yang sehat. Seorang anak yang sehat memiliki keunikan pribadi, talenta- talenta yang unik yang berbeda dari siapapun. Bilamana potensi ajaib di dalam dia tidak menerima kebutuhan dasar yang sangat hakiki yaitu kasih sayang, seorang anak terhambat dan bahkan kandas di dalam pertumbuhannya.

Keunikan seorang anak yaitu anak ajaibnya, mandeg dalam bertumbuh kembang. Seorang anak yang menerima kebutuhan dasar bertumbuh dalam harga diri yang kuat dan kesanggupan untuk bertahan di dalam kehidupan. Kesanggupan untuk bertahan di dalam kehidupan adalah potensi bawaan yang manusiawi dan alami.

Trauma dan Pertahanan Diri
Sayangnya sebagian dari kita selain tidak menerima kebutuhan dasar yang mencukupi, mengalami pula, trauma di masa kecil. Pengalaman pahit yang tak kita harapkan terjadi. Penyiksaan atau pelecehan terjadi ketika kita masih kanak kanak sewaktu kita belum bisa memahami apa yang menimpa kita. Pelecehan bisa dialami secara verbal, emosi ataupun phisik tetapi semuanya berdampak kepada jiwa dan kepribadian kita.

Saat kepribadian dan jiwa kita merasa terancam, reaksi manusiawi yang wajar adalah upaya melindungi diri. Kita menghindari bahaya agar kita merasa aman secara phisik dan emosi. Itu adalah tanggapan alamiah untuk bertahan. Seorang anak yang mengalami trauma secara alamiah menyembunyikan pribadinya yang terluka di dalam upaya pertahanan diri. Benteng perlindungan diri bagai pagar tinggi dibangun di sekeliling jiwanya.

Ketika seorang anak mengalami penyiksaan, tanpa seorangpun bisa menjadi tempatnya berlindung, anak ini mungkin bertumbuh menjadi dewasa secara phisik tetapi emosi anak yang terluka terperangkap di dalam dirinya. Anak yang seharusnya bertumbuh seimbang secara tubuh, jiwa dan rohnya, mengalami ketimpangan. Potensi emosi, jiwa dan rohnya yang seharusnya sangat kreatif terhambat bertumbuh kembang, begitu pula ekspressi jasmaninya.

Penjara, Perangkap dan Kebekuan
Emosi negatif seperti ketakutan, kecemasan, rasa tidak aman, rasa “ditinggalkan sendirian”, rasa tidak seorangpun peduli, atau rasa tidak berharga, terkurung di dalam tembok tembok pertahanan diri, sehingga emosi positif seseorang terhambat perkembangannya. Peristiwa peristiwa yang mirip dengan pengalaman trauma di masa lalu juga menambah tebalnya lapisan benteng pertahanan diri. Saat perasaan negatifnya seperti ketakutan terpicu dan menghantui lagi, seseorang merasa seolah mengalami trauma kembali.

Banyak di antara kita yang merasa seolah tubuh kita membeku saat perasaan perasaan itu kembali mencengkam dan kita tak sanggup berbuat apapun. Yang lebih merugikan adalah bahwa hal hal positif yang seharusnya kita terima untuk pengembangan diri, ikut terpental keluar karena tak dapat menembus benteng- benteng pertahanan itu. Kita semakin terperangkap dan tak bisa berkembang. Pernahkah kita bertanya tanya..saat kita mengamati beberapa teman yang nampaknya sangat sulit berelasi dengan orang lain, tidak bisa membuka diri untuk membina persahabatan yang mendalam, kaku di dalam bergaul atau seperti tidak punya empati atau mati rasa? Beberapa orang lebih suka mengisolasi dirinya daripada mengambil risiko membina relasi dengan orang lain.

Kemungkinan yang terjadi adalah anak ajaib yang diciptakan serupa dengan gambar Allah terperangkap di dalam mereka karena pengalaman trauma di masa lalu. Gejala ini sangat mungkin kita alami dalam kadar yang berbeda beda. Kita merasa tidak sanggup untuk mengembangkan diri secara positif, kita mandeg dalam pertumbuhan untuk mengekspresikan potensi potensi kita secara sehat.

Seorang calon dokter ahli jiwa, di masa pelatihannya di sebuah rumah pemulihan mental bertugas mengadakan berbagai kegiatan di lapangan bagi para pasien remaja. Kegiatan luar rumah seperti piknik, sport kelompok bola kaki, bola basket atau berperahu dayung di danau. Mereka yang mengalami trauma berat mengalami kesulitan untuk bekerja sama dalam kelompok, sangat gagu untuk bergerak bebas, tak sanggup menanggapi lemparan bola dengan sigap, atau tak nyaman menikmati relasi canda dan tawa bersama. Beberapa orang bahkan ketakutan untuk melangkah ke dalam perahu dayung.

Ada yang hanya merasa aman menjadi penonton tanpa harus berpartisipasi. Anak ajaib yang diciptakan serupa dengan gambar Allah dengan semua potensinya terhenti dan terperangkap di dalam pagar- pagar dan benteng persembunyian sebagai upaya pertahanan diri.

Harapan akan Pemulihan
Pernahkah kita membayangkan betapa Yesus mencintai anak- anak? Dia sendiri adalah Anak Bapa yang merasakan penderitaan kita- Sang Penebus yang sanggup memulihkan anak kecil yang terluka dan terperangkap di dalam diri kita. “Biarkanlah anak- anak itu datang kepadaKu” adalah undanganNya yang penuh cinta kasih. (Markus 10:13-16).

Dialah yang sanggup mengeluarkan kita dari penjara penjara tembok pertahanan kita. Dialah yang sanggup membongkar benteng benteng perlindungan kita, bila dengan iman seperti seorang anak kecil kita belajar menyerahkan ketakutan dan trauma trauma kita. Yesus Kristus Sang Tabib Agung yang sanggup memberdayakan kita kembali menjadi serupa dengan Gambar Allah (Imago Dei) dan membangun kembali potensi anak ajaib yang di dalam kita.

CS
Oktober 2016

Daftar Pustaka:
Bradshaw, J., Home Coming – Reclaiming and Championing Your Inner Child, Bantam, Books, New York, NY, 1992.
Van der Kolk, B.,The Body Keeps The Score – Brain, Mind and Body in The Healing of Trauma, Penguin Books, New York, NY, 2015

Kontak Kami logo Donasi

© PancaranAnugerah.ORG. All Rights Reserved. Designed by HTML Codex