Pada saat saya pertama kali mendengar pelajaran mengenai batasan emosi dan fisik, saya telah mengalami dua kali perceraian dan banyak hubungan seksual di luar nikah sejak saya berusia 15 tahun. Saya bertumbuh dewasa di sebuah kota kecil di suatu pedesaan yang terletak di pesisir timur Kanada, salah satu pusat penangkapan ikan. Saya dapat dikatakan anak yang lugu dan dilindungi oleh orang tua semasa kecil. Saya berperilaku tomboi dan kebanyakan teman saya adalah anak-anak laki-laki. Pada waktu saya duduk di bangku SMA, para remaja pria mulai memperlakukan saya dengan berbeda. Saya pun mulai berkencan dengan seorang remaja putus sekolah yang berusia 19 tahun. Saat itu, orangtua saya memberi kebebasan terlalu banyak kepada saya, sehingga saya hanya memiliki sedikit batasan saja. Suatu malam pada saat menghadiri sebuah pesta, saya minum minuman keras yang level alkoholnya amat tinggi. Saya amat mabuk dan kemudian saya diperkosa oleh teman kencan saya.
Setelah malam itu, saya mulai mengembangkan depresi dan merasa hina. Saya menganggap diri saya termasuk dalam kelompok “remaja perempuan yang buruk dan liar secara seksual.” Akibatnya, saya mulai bersikap tertutup dan tidak pernah membiarkan siapapun mengetahui apa yang telah terjadi. Peristiwa pemerkosaan itu membangkitkan hawa nafsu dalam diri saya, yang ternyata saya sejajarkan dengan cinta. Saya membenci kekasih saya itu, tetapi saya tetap berpacaran dengan dia, menjalani suatu relasi yang tidak berfungsi dengan sehat.
Semasa kuliah di perguruan tinggi, saya memutuskan untuk menggunakan beberapa pria sebagaimana halnya mereka menggunakan saya. Saya mulai bertemu dengan beberapa pria secara diam-diam hanya untuk berhubungan seks. Saya membenci pertemuan-pertemuan rahasia ini. Namun saya melanjutkannya karena terasa menarik buat saya. Saya sempat menikah sebanyak dua kali. Suami pertama saya adalah seorang alkoholik yang tidak mengenal batasan yang sehat dalam berelasi. Saya menikahinya karena merasa ia membutuhkan saya. Saya menikah kedua kalinya dengan seorang pria yang terus menerus melanggar batasan diri saya dan memanipulasi serta mengontrol setiap orang dengan kemarahannya. Ia bukan pria baik-baik, yang mencoba untuk menjadi baik. Ternyata saya menikahi dia untuk memanfaatkan status sosial keluarganya yang ternama di masyarakat kota saya, yaitu agar saya dilihat oleh masyarakat sebagai perempuan terhormat.
Kedua perceraian yang saya alami hanya menambah rasa hina saya dan saya makin menutup diri dari orang-orang. Saya menyimpulkan bahwa diri saya adalah seorang perempuan yang sungguh-sungguh buruk. Saya merasa terperangkap. Saya menjadi depresi dan frustrasi, dan rasa hina itu berkembang setiap waktu. Saya kembali memanfaatkan para pria serta mengembangkan relasi yang saling tergantung (co-dependent) secara tidak sehat dengan wanita lain.
Ketika saya berjumpa dengan pria yang adalah suami saya saat ini, ia menunjukkan kepada saya bahwa para wanita yang menjadi teman-teman saya ternyata adalah orang-orang yang memiliki luka batin dan menginginkan sesuatu dari saya secara terus menerus. Hari ini saya menyebut mereka “parasit.” Tidak lama kemudian setelah perjumpaan itu saya membaca sebuah buku berjudul Boundaries. Dari buku itu saya belajar untuk mengubah harapan saya kepada dia maupun kepada orang lain.
Saya menyadari bahwa selama ini saya menjalani hidup tanpa menetapkan batasan dan akibatnya saya juga sudah melanggar batasan orang lain. Kini saya telah mampu memilah dengan lebih jeli akan hal-hal yang sehat dan tidak sehat di dalam berelasi dengan orang lain, serta sedikit lebih bijak di dalam menentukan siapa yang boleh masuk ke dalam area pribadi kehidupan saya.
Perjalanan pemulihan yang saya tempuh merupakan perjalanan yang sulit. Saya harus belajar untuk percaya kepada sahabat-sahabat yang memang jujur kepada saya dan mampu mengatakan “tidak” kepada saya. Saya pun belajar untuk berkata “tidak” serta berusaha untuk menghormati batasan-batasan yang mereka miliki. Hari ini saya tidak lagi hidup di dalam kekacauan akibat kehidupan yang tidak memiliki batasan.
© PancaranAnugerah.ORG. All Rights Reserved. Designed by HTML Codex