Kisah kecanduan seksual saya berawal sewaktu saya masih berusia dini. Saya ingat mulai berkhayal ketika berumur sembilan atau sepuluh tahun. Saya sering berkhayal ada banyak orang yang menyukai saya atau saya menjadi orang yang terkenal, dan bukan itu saja, khayalan saya juga mencakup banyak hal seksual. Saat saya bermain dengan teman-teman perempuan, saya kerap kali mengubah permainan itu menjadi bersifat seksual.
Saya sendiri dilecehkan secara seksual pada saat saya masih seorang anak perempuan belia. Akibatnya saya sudah mengenal seksualitas terlalu dini. Tetapi pada waktu itu saya amat penasaran tentang semua hal yang berbau seksual. Saya bertumbuh dalam keluarga di mana seks tidak diperbincangkan, jadi rasa penasaran saya harus dipuaskan di tempat lain. Saya beralih kepada film-film layar lebar dan tayangan TV yang bermuatan seksual untuk memenuhi nafsu saya.
Seiring saya bertumbuh, khayalan-khayalan itu berkembang bahwa banyak pria menyukai saya, menginginkan saya dan bersedia melakukan apapun untuk saya. Saya masih cukup naif sebagai seorang remaja, namun tayangan TV dan film-film layar lebar membantu saya mengembangkan imajinasi. Alhasil seks mendominasi khayalan-khayalan tersebut. Saya begitu terlena oleh seks dan mulai meyakini bahwa jika seseorang ingin berhubungan seks dengan saya maka ia pasti mencintai saya. Citra sebagai gadis yang seksi dan dikejar-kejar adalah hal yang paling penting bagi saya.
Pada suatu musim panas, saya diajak kencan oleh tiga anak laki-laki yang berbeda. Saya girang sekali. Saya akhirnya diinginkan! Tetapi saya sudah menguasai pola “jinak-jinak merpati”. Ketika seorang anak laki-laki mengajak saya kencan, saya akan berkencan satu kali dengannya dan setelah itu memberi alasan yang payah agar saya dan dia tidak usah berkencan lagi. Pertemanan saya dengan anak-anak pria tidak wajar, dan saya malah mengkhayalkan anak-anak pria yang sempurna, diri saya yang sempurna dan keadaan yang sempurna. Di tempat ini saya tidak perlu berhadapan dengan kehidupan nyata.
Di masa dewasa, kecanduan saya berkembang. Saya mulai membaca novel-novel percintaan—perpustakaan khayalan yang sepenuhnya baru dan menyediakan koleksi khayalan untuk saya pilih. Novel-novel ini menggambarkan adegan hubungan seksual dengan terang-terangan serta kreatif dalam mengisahkan awal perjumpaan antar tokoh-tokohnya. Kata-kata serta gambaran yang diberikan memberi saya kesenangan yang memabukkan. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Saya mulai bermasturbasi untuk mendapatkan level kesenangan yang sama. Masturbasi itu terus saya ulang (menjadi kompulsif) dan saya membuat rencana tentang kapan saya akan melakukannya lagi. Saya tidak mengatakan bahwa hal itu menguasai pikiran saya sepenuhnya, tetapi pada waktu itu masturbasi menjadi bagian yang besar dari kehidupan saya.
Saya beranjak dewasa dalam sebuah keluarga Kristen, dan saya dibaptis ketika saya masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Sebagai seorang remaja saya tahu pikiran saya terlalu sering dipenuhi dengan seks. Saya mulai percaya bahwa saya seorang yang aneh. Saya sangat yakin tidak ada gadis lain yang berpikir tentang seks sebanyak saya. Saya pikir rasa malu sudah ditanamkan dalam saya sebagai akibat dari pelecehan yang saya alami, tetapi pada saat itu rasa malu yang ada telah bercokol sangat kuat.
Membaca novel-novel percintaan dan mulai bermasturbasi membuat rasa malu bukan saja bercokol kuat pada saya tetapi juga menyelimuti saya. Saya percaya saya adalah satu-satunya wanita Kristen yang pernah bergumul dengan masturbasi. Saya membenci hal yang saya lakukan, hal yang saya pikirkan serta kondisi diri saya saat itu. Saya membenci diri saya. Tetapi saya tidak dapat berhenti. Saya amat terperangkap dalam siklus kecanduan ini, berjanji kepada Allah tidak akan melakukannya lagi, namun kemudian merencanakan dan melakukannya lagi.
Saya bercerita kepada sepasang suami istri dan mereka berdoa bersama saya. Di kemudian hari saya mengetahui bahwa hal itu sebenarnya amat berat bagi mereka, namun mereka mau mendampingi saya dan mengasihi saya. Sebenarnya saya tidak mau bercerita kepada siapapun karena takut—dan saya kuatir orang-orang akan memandang saya dengan jijik.
Kemudian saya menghadiri pertemuan Living Well. Saya sungguh-sungguh menginginkan rumusan yang dapat saya lakukan, mendapatkan resep atau doa yang dapat saya lafalkan—apapun yang akan menghentikan kecanduan ini. Tetapi ternyata lebih dari yang saya harapkan, saya menemukan Yesus! Meskipun sebelum ini saya beranjak dewasa dengan pengetahuan akan Yesus, saya tidak tahu akan anugerah atau penerimaan yang tidak bersyarat dari-Nya akan diri saya sebagaimana adanya. Datang ke hadapan Yesus dan salib-Nya di saat saya masih orang berdosa adalah hal yang amat luar biasa di ingatan saya. Sebelumnya saya selalu beranggapan bahwa saya terlalu kotor untuk datang kepada Dia sehingga saya akan menunggu seminggu atau lebih sebelum datang ke hadapan-Nya. Rasa malu dan benci kepada diri sendiri melalap saya dan menghalangi saya untuk mencari Dia ataupun datang ke hadapan-Nya.
Tetapi Yesus tidaklah terganggu oleh rasa malu ataupun pemikiran yang keliru yang saya miliki. Ketika kebenaran ini meresap, cengkeraman siklus kecanduan menjadi berkurang. Saya masih bergumul dan hal-hal buruk tidak berubah dalam semalam. Namun demikian, kini saya tidak takut meminta pertolongan ataupun membuat pengakuan ketika saya jatuh. Bersembunyi dalam kegelapan bersama dosa saya tidak menghasilkan apa-apa. Membawa dosa kepada terang Yesus memberi saya kesembuhan yang saya butuhkan.
“Jika aku berkata: ‘Biarlah kegelapan saja melingkupi aku, dan terang sekelilingku menjadi malam,’
maka kegelapanpun tidak menggelapkan bagi-Mu, dan malam menjadi terang seperti siang; kegelapan sama seperti terang.” (Mazmur 139:11, 12)
© PancaranAnugerah.ORG. All Rights Reserved. Designed by HTML Codex